Home

Puasa Tahun 1434H ini mulai hari Selasa besok atau Rabu??




Yang lebih penting dari mulai puasa Selasa atau Rabu adalah; mengilmu mengapa ada beda demikian; lalu beramal sesuai ilmu yang teryakini. Perbedaan mencakup banyak segi mendasar. Secara sederhana, pertama; apa ta’rif Hilal yang termaktub dalam QS 2:189 dan berbagai hadist. Apakah yang dimaksud Hilal itu penampakan fisik bulan baru teramati; atau bulan memasuki fase barunya dengan ijtima’ qablal ghurub.
Beberapa golongan memaknai Hilal sebagai bulan memasuki fase baru dengan ijtima’ qablal ghurub (konjungsi sebelum matahari terbenam). Kita sulit menolak definisi ini; sebab, ketika bulan memasuki fase edar baru, jelas ia sudah tidak mungkin lagi dianggap bulan lama. Jadi tidak peduli berapapun derajatnya; jika bulan telah memasuki fase edar baru kita memasuki bulan Hijriah baru. Hal yang baru teristilahkan “Hisab Wujudul Hilal” ini ditentang para berilmu yang mendefinisi hilal : ‘Penampakan fisik bulan baru’.

Dalam Imkanur Ru;yat akan ada perbedaan lagi; berapa derajad bulan memungkinkan dilihat? Dengannya keshahihan ru’yat diuji. Beda derajat ini juga membawa soal lain; betapa sebentarnya (hanya beberapa detik) Hilal muncul setelah ghurub, lalu terbenam juga. Bagi para berilmu yang mengambil definisi ini istilah diatas dianggap tak tepat. Harusnya Wujudul Qamar bukan wujudul Hilal.
Masuk perbedaan kedua mutlakkah hadist “Shumuu liru’yatihi wa afhiruu liru’yatih. Berpuasalah sebab MELIHAT hilal, beridul fitrilah kalian karena melihatnya?” bagian sebagian Ulama; hadits ini perintah tegas tuk melihat Hilal secara fisik dalam penentuan. Tetapi tidak menurut Ulama lain sebab kata “Raa-a minkum munkaran falyughayyiru…” melihat kemunkaran bisa dengan mata atau ilmu. Yang berpandangan harus melihat dengan mata: berhujjah bahwa secara ‘amaliah, Nabi & para Khulafaur Rasyidin memerintahkan Ru’yat. Bukankah sunnah mereka lebih layak diikuti? Lalu yang memahami “Melihat” bisa dengan ilmu mengajukan hadist ‘kedaruratan’ masa itu. “Nahnu qaumun ummiyun.. Kami adalah kaum yang ummi; kami tidak bisa membaca, tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab bulan itu demikian-demikian. Yakni ada kalanya dua puluh Sembilan hari & terkadang tiga puluh hari (Muttafaq ‘alaih) Maka; ujar para berilmu (al. Rasyid Ridha & Mustafa Az Zarqa), perintah ru’yat fisik ialah ber-‘illat(bersebab tertentu). Dalam kaidah fiqh; hokum hadir dan meniada berdasar ‘illat. Dalam soal Ru’yat Hilal secara fisik, ‘illatnya adalah ke-ummi-an ummat. Maka menurut mereka, perintah melihat Hilal secara fisik itu Wajib saat ummat belum faham Hisab. Kewajiban gugur jika sudah mampu.
Masuk perbedaan lain di kalangan yang sama-sama mengharuskan ru’yat fisik; bolehkah pakai alat bantu, atau harus mata telanjang? Agak mengganggu; tapi inipun dibahas. Bahwa Nabi tidak memakai teropong dan lainnya. Tapi bahwa atmosfer zaman kita banyak polusinya.
Perbedaan berikut ;apakah kesaiksian seorang yang mau disumpah dapat langsung diterima? Bukankah Nabi dulu menerima tanpa penguji lain? Tapi hari ini pemutlak Ru’yat bisa menolak kesaksian Ru’yat seorang yang disumpah;uniknya berdalil Hisab; “kurang dari dua derajad”. Maka para berilmu lain mengakui bahwa Hisab Falaki bagi Ru;yat sebenarnya pasangan nan tak dapat diabaikan. Agar tepat meru’yat kita harus tahu koordinat terkirakan lokasi Hilal akan muncul, berapa derajad sudutnya, berapa jarak Matahari sehingga bias senja tak mengganggu, berapa lama Hilal akan tertampak di ufuk, jam berapa hingga berapa. Semua data itu dari hisab!
Indonesia punya masalah lain; kalau dulu Rasulullah memakai dataran gurun sebagai tempat pengamatan Hilal;kita pakai tepi pantai. Saat mentari terbenam, uap air di atas lautan masih membiaskan cahaya Matahari untuk beberapa waktu. Dengan itu bahkan hilal yang telah wujud dan seharusnya tampak di ufuk sekitar 0-3 menit, kemungkinan akan dikaburkan oleh pembiasan itu. Beda dengan di gurun.
Masuk ke perbedaan lain di kalangan yang sama-sama ber-Ru’yat: apakah 1 Ru’yat berlaku global seluruh dunia islam; atau local saja?sebagian berkata; 1 Ru’yat berlaku global. Yang lain’ konsekuensi beda daerah waktu’ mathla’ beda, terbit Hilal beda, Ru’yat local. Dizaman Nabi kemutlakan Ru’yat seluruh umat memungkinkan. Jumlah ummat belum sebanyak sekarang dan mathla’nya sedaerah waktu. Tapi bahkan di masa Mu’awiyah, Ibn Abbas di Hijjaz melakukan Ru’yat mandiri yang hasilnya beda dengan Ru’yat ibukota di Damaskus, ketika pembawa pesan dari Ibukota datang dan bertanya “Tak cukupkah bagi kalian Ru’yat Mu’awiyah?” Ibnu Abbas menegaskan ijtihadnya.
Masuk perbedaan berikut; pemahaman atas “Amrul Imam/hukmul Hakim yarfa’ul khilaf”. Apakah Pemerintah RI layak termasuk Imam & Hakim? Apa ia memenuhi syarat hingga wajib ditaati itsbatnya? Dan terharuskan; padahal Amirul Mukminin Mu’awiyah saja tidak diikuti semua?. Bagi Ru’yat Indonesia ; apakah ia berlaku nasional sedang kita punya 3 daerah waktu? Hilal Sabang amat lebih tua dibanding Jayapura. Jadi kalau ada yang tak ikut pemerintah RI;mari maklum; Mu’awiyah RA saja tak diikuti Ibn ‘Abbas di Hijjaz.
Yang berpandangan wajib ikut pemerintah mengajukan Hadist : “Yaumu fithrikum yaumu tufthirun, wa yaumu adh-hakum yaumu tudhahhun..” ”hari idul Fitri kalian adalah hari kalian bersama tak lagi berpuasa’ Adh-ha kalian adalah hari kalian menyembelih”. Hadist ini menjadi patokan bahwa kebersamaan dan persatuan adalah hal utama yang selayaknya kita upayakan. Dan ini fahaman terbaik.
Jika pemerintah suatu Negara punya kuasa untuk memaksa semua pihak di antara warga-negaranya (Ormas atau apapun); satukan agar indah. Tapi jika kenyataannya lain; hadist tadi dapat difahami dengan pemaknaan kedua; mari ikuti apa yang ada di masarakat sekitar kita. Jika persatuan secara luas dan mutlak tak tercapai; upayakan keselarasan dan harmoni pada tingkat yang mampu kita jangkau dan tegakkan. Dengan pemahaman ini;  memaksakan diri berbeda dari lingkungan sekitar (apapun metode dan hasil yang kita yakini) kurang cantik jadinya. “Keluar dari ikhtilaf itu yang tercintai”, Ujar Imam Asy Syafi’i. Jika tak mampu mengamalkannya secara besar, secara kecil cukup.
Dalam keadaan seperti penduduk Hijjaz dulu ikut Ibn ‘Abbas dan tidak ikut Mu’awiyah (Padahal Mu’awiyah Amitul Mukminin) rukun sedaerah yang memungkinkan tuk kebersamaan itu indah. Kalau yang memungkinkan hanya sekampung; semoga itupun jadi kebaikan.

Disadur dari: https://twitter.com/salimafillah

Tidak ada komentar:

copyright © Qiaramint