Yang lebih penting dari mulai puasa Selasa
atau Rabu adalah; mengilmu mengapa ada beda demikian; lalu beramal sesuai ilmu
yang teryakini. Perbedaan mencakup banyak segi mendasar. Secara sederhana,
pertama; apa ta’rif Hilal yang termaktub dalam QS 2:189 dan berbagai hadist. Apakah
yang dimaksud Hilal itu penampakan fisik bulan baru teramati; atau bulan
memasuki fase barunya dengan ijtima’ qablal ghurub.
Beberapa golongan memaknai Hilal sebagai bulan
memasuki fase baru dengan ijtima’ qablal ghurub (konjungsi sebelum matahari
terbenam). Kita sulit menolak definisi ini; sebab, ketika bulan memasuki fase
edar baru, jelas ia sudah tidak mungkin lagi dianggap bulan lama. Jadi
tidak peduli berapapun derajatnya; jika bulan telah memasuki fase edar baru kita
memasuki bulan Hijriah baru. Hal yang baru teristilahkan “Hisab Wujudul Hilal”
ini ditentang para berilmu yang mendefinisi hilal : ‘Penampakan fisik bulan
baru’.
Dalam Imkanur Ru;yat akan ada perbedaan lagi;
berapa derajad bulan memungkinkan dilihat? Dengannya keshahihan ru’yat diuji. Beda
derajat ini juga membawa soal lain; betapa sebentarnya (hanya beberapa detik)
Hilal muncul setelah ghurub, lalu terbenam juga. Bagi para berilmu yang
mengambil definisi ini istilah diatas dianggap tak tepat. Harusnya Wujudul
Qamar bukan wujudul Hilal.
Masuk perbedaan kedua mutlakkah hadist “Shumuu
liru’yatihi wa afhiruu liru’yatih. Berpuasalah sebab MELIHAT hilal, beridul
fitrilah kalian karena melihatnya?” bagian sebagian Ulama; hadits ini perintah
tegas tuk melihat Hilal secara fisik dalam penentuan. Tetapi tidak menurut
Ulama lain sebab kata “Raa-a minkum munkaran falyughayyiru…” melihat kemunkaran
bisa dengan mata atau ilmu. Yang berpandangan harus melihat dengan mata:
berhujjah bahwa secara ‘amaliah, Nabi & para Khulafaur Rasyidin
memerintahkan Ru’yat. Bukankah sunnah mereka lebih layak diikuti? Lalu yang
memahami “Melihat” bisa dengan ilmu mengajukan hadist ‘kedaruratan’ masa itu. “Nahnu
qaumun ummiyun.. Kami adalah kaum yang ummi; kami tidak bisa membaca, tidak
bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab bulan itu demikian-demikian. Yakni ada
kalanya dua puluh Sembilan hari & terkadang tiga puluh hari (Muttafaq ‘alaih)
Maka; ujar para berilmu (al. Rasyid Ridha & Mustafa Az Zarqa), perintah ru’yat
fisik ialah ber-‘illat(bersebab tertentu). Dalam kaidah fiqh; hokum hadir dan
meniada berdasar ‘illat. Dalam soal Ru’yat Hilal secara fisik, ‘illatnya adalah
ke-ummi-an ummat. Maka menurut mereka, perintah melihat Hilal secara fisik itu
Wajib saat ummat belum faham Hisab. Kewajiban gugur jika sudah mampu.
Masuk perbedaan lain di kalangan yang
sama-sama mengharuskan ru’yat fisik; bolehkah pakai alat bantu, atau harus mata
telanjang? Agak mengganggu; tapi inipun dibahas. Bahwa Nabi tidak memakai
teropong dan lainnya. Tapi bahwa atmosfer zaman kita banyak polusinya.
Perbedaan berikut ;apakah kesaiksian seorang
yang mau disumpah dapat langsung diterima? Bukankah Nabi dulu menerima tanpa
penguji lain? Tapi hari ini pemutlak Ru’yat bisa menolak kesaksian Ru’yat
seorang yang disumpah;uniknya berdalil Hisab; “kurang dari dua derajad”. Maka
para berilmu lain mengakui bahwa Hisab Falaki bagi Ru;yat sebenarnya pasangan
nan tak dapat diabaikan. Agar tepat meru’yat kita harus tahu koordinat
terkirakan lokasi Hilal akan muncul, berapa derajad sudutnya, berapa jarak
Matahari sehingga bias senja tak mengganggu, berapa lama Hilal akan tertampak
di ufuk, jam berapa hingga berapa. Semua data itu dari hisab!
Indonesia punya masalah lain; kalau dulu
Rasulullah memakai dataran gurun sebagai tempat pengamatan Hilal;kita pakai
tepi pantai. Saat mentari terbenam, uap air di atas lautan masih membiaskan
cahaya Matahari untuk beberapa waktu. Dengan itu bahkan hilal yang telah wujud
dan seharusnya tampak di ufuk sekitar 0-3 menit, kemungkinan akan dikaburkan
oleh pembiasan itu. Beda dengan di gurun.
Masuk ke perbedaan lain di kalangan yang
sama-sama ber-Ru’yat: apakah 1 Ru’yat berlaku global seluruh dunia islam; atau local
saja?sebagian berkata; 1 Ru’yat berlaku global. Yang lain’ konsekuensi beda
daerah waktu’ mathla’ beda, terbit Hilal beda, Ru’yat local. Dizaman Nabi
kemutlakan Ru’yat seluruh umat memungkinkan. Jumlah ummat belum sebanyak
sekarang dan mathla’nya sedaerah waktu. Tapi bahkan di masa Mu’awiyah, Ibn
Abbas di Hijjaz melakukan Ru’yat mandiri yang hasilnya beda dengan Ru’yat
ibukota di Damaskus, ketika pembawa pesan dari Ibukota datang dan bertanya “Tak
cukupkah bagi kalian Ru’yat Mu’awiyah?” Ibnu Abbas menegaskan ijtihadnya.
Masuk perbedaan berikut; pemahaman atas “Amrul
Imam/hukmul Hakim yarfa’ul khilaf”. Apakah Pemerintah RI layak termasuk Imam
& Hakim? Apa ia memenuhi syarat hingga wajib ditaati itsbatnya? Dan terharuskan;
padahal Amirul Mukminin Mu’awiyah saja tidak diikuti semua?. Bagi Ru’yat
Indonesia ; apakah ia berlaku nasional sedang kita punya 3 daerah waktu? Hilal
Sabang amat lebih tua dibanding Jayapura. Jadi kalau ada yang tak ikut
pemerintah RI;mari maklum; Mu’awiyah RA saja tak diikuti Ibn ‘Abbas di Hijjaz.
Yang berpandangan wajib ikut pemerintah
mengajukan Hadist : “Yaumu fithrikum yaumu tufthirun, wa yaumu adh-hakum yaumu
tudhahhun..” ”hari idul Fitri kalian adalah hari kalian bersama tak lagi
berpuasa’ Adh-ha kalian adalah hari kalian menyembelih”. Hadist ini menjadi
patokan bahwa kebersamaan dan persatuan adalah hal utama yang selayaknya kita
upayakan. Dan ini fahaman terbaik.
Jika pemerintah suatu Negara punya kuasa
untuk memaksa semua pihak di antara warga-negaranya (Ormas atau apapun);
satukan agar indah. Tapi jika kenyataannya lain; hadist tadi dapat difahami
dengan pemaknaan kedua; mari ikuti apa yang ada di masarakat sekitar kita. Jika
persatuan secara luas dan mutlak tak tercapai; upayakan keselarasan dan harmoni
pada tingkat yang mampu kita jangkau dan tegakkan. Dengan pemahaman ini; memaksakan diri berbeda dari lingkungan
sekitar (apapun metode dan hasil yang kita yakini) kurang cantik jadinya. “Keluar
dari ikhtilaf itu yang tercintai”, Ujar Imam Asy Syafi’i. Jika tak mampu
mengamalkannya secara besar, secara kecil cukup.
Dalam keadaan seperti penduduk Hijjaz dulu
ikut Ibn ‘Abbas dan tidak ikut Mu’awiyah (Padahal Mu’awiyah Amitul Mukminin)
rukun sedaerah yang memungkinkan tuk kebersamaan itu indah. Kalau yang
memungkinkan hanya sekampung; semoga itupun jadi kebaikan.
Disadur dari: https://twitter.com/salimafillah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar