Para pengguna forum bergantian mengemukakan pendapatnya,
termasuk seorang Belanda yang menyarankan, “Lebih baik nggak usah bawa
bayinya sekalian! Tunda ke Eropa-nya sampai anakmu agak besar. Kalau
kamu ngotot bawa, itu namanya egois karena mengganggu penumpang lain.”
Para pengguna forum lain kontan membela sang ibu, dan debat
pun berlangsung. Si Belanda disebut ‘tidak berperasaan’ dan dituduh
tidak punya anak. Kemudian si Belanda mengaku bahwa ia sebenernya adalah
nenek dari beberapa cucu, so she actually knows what she’s talking about.
Salah satu pernyataan yang ia keluarkan adalah, “Saya perhatikan,
anak-anak Indonesia adalah raja-raja kecil. Ngerengek dikit, langsung
diberi apa maunya. Akibatnya, mereka cenderung menjadi yang paling ribut
di pesawat. Saya tidak setuju mereka dibawa terbang long-haul sampai agak besar.”
***
Flashback ke tahun 2010, ketika saya dan suami sedang honeymoon
ke Bali. Saat itu, kami sedang bersepeda, menyusuri pedesaan di daerah
Kedisan. Kami ditemani oleh seorang pemandu yang bercerita mengenai
sejarah budaya Bali.
Ia bercerita, sempat ada periode dimana anak-anak di Bali dianggap
perwujudan Dewa sampai usia 3 tahun. Mereka dianggap agung dan suci.
Akibatnya, kaki mereka tidak pernah menginjak tanah karena selalu
digendong.
***
Kembali ke forum. Di kesempatan lain, saya sedang mengorek
sebuah forum para ekspatriat yang tinggal di Jakarta. Seorang ekspat
yang sudah lama tinggal di Jakarta memberikan masukan mengenai gaya
pengasuhan anak Indonesia, untuk para ekspat lain. Ia menulis, “Ketika
bayi mulai belajar merangkak dan bereksplorasi sendiri, warga Indonesia
cenderung TIDAK melakukan childproofing terhadap rumah mereka. Instead, anak-anak selalu digendong oleh orangtua atau pengasuh, untuk memastikan mereka tidak celaka. I believe that is why, banyak anak-anak di sini langsung berdiri atau berjalan, dan melongkap fase merangkak.”
***
Apa kesimpulan yang bisa ditarik dari kasus-kasus di atas?
Menurut saya salah satunya adalah, budaya kita punya kecenderungan
meng’agung’kan anak, sehingga tak heran kalau mereka tumbuh menjadi
Raja-Raja Kecil.
Lalu bagaimana, dong?
***
Generasi saya (dan sebelumnya) adalah generasi yang
cenderung dididik dengan keras dan otoritatif, apalagi kalau
dibandingkan dengan tren parenting belakangan ini. Mungkin tidak semua Mommies
mengalami ini, ya, namun saya dididik dengan tangan besi. Begitu juga
dengan suami saya. Begitu juga dengan orangtua dan kerabat-kerabat kami.
Pokoknya, mayoritas angkatan kami ke atas pasti pernah mengalami
kekerasan fisik di masa kecil, kalau kami dianggap nakal.
Namun zaman dahulu, memukul, menyabet, membentak keras atau menjewer
anak dianggap normal-normal saja. Kami pun tidak pernah trauma atau
merasa dendam. Rasanya, sih, biasa saja, dan hubungan kami ke orangtua
tetap dekat.
Tapi memaaaang, kekerasan tidaklah baik, dan kami berjanji tidak akan mengulanginya ke anak-anak kami.
Alhasil, saya merasa generasi saya ini menjadi generasi yang
‘sangat lembut’ dibandingkan dengan generasi di atas. Kami (berusaha)
tidak memukul atau membentak keras anak-anak sama sekali. Hukuman untuk
anak dilakukan dengan taktik psikologis, agar tetap halus namun efektif.
Entah ada berapa seminar parenting yang menekankan hal ini.
Sebagian besar taktik ini diadaptasi dari budaya Amerika yang liberal dan demokratif. Saya perhatikan, parenting
di Amerika juga sangat mengedepankan perasaan anak. Sedari bayi, anak
ditanya apa maunya, diberi kebebasan memilih, dan orangtua selalu minta
maaf kalau sang anak merasa sakit/ tidak nyaman.
Tapi apakah meminta maaf kepada anak itu selalu baik?
Pamela Druckerman—penulis buku Bringing Up Bebe yang pernah diulas di sini—juga
menyinggung soal fenomena ‘minta maaf’ di Prancis di dalam bukunya.
Suatu hari, Paula membawa balitanya ke dokter untuk imunisasi. Mereka
masih tinggal di Paris.
Sebelum anaknya disuntik, Paula—seperti layaknya ibu-ibu
Amerika lain—meminta maaf kepada anaknya, “Maaf ya, Nak, kamu bakal
sakit sedikit. Nggak apa-apa ya? Supaya kamu sehat.” (sounds familiar, Mommies?)
Spontan, sang DSA memarahi Paula. “Untuk apa kamu minta maaf kepada anak kamu?!”
Get this: orangtua Prancis tidak suka meminta maaf kepada anaknya.
Alasannya begini: anak-anak HARUS merasakan kekecewaan dalam hidup sedari bayi. Ya, sedari newborn.
Mereka harus pernah merasakan kesedihan, kekecewaan, dan rasa
frustrasi. Entah itu frustrasi dimarahi, frustrasi tidak digendong, atau
frustrasi karena mainannya jatuh ke lantai dan tidak ada yang
mengambilkan. Kalau anak terus-terusan dibuat bahagia, maka ia akan
hidup dalam ilusi. They will live in their own bubble.
Ibaratnya, berenang. Kalau anak dibiasakan berenang dengan pelampung, mereka menjadi tidak aware
akan bahaya air. Mereka jadi berilusi, bahwa air itu aman dan mereka
akan selalu mengapung, padahal sebenarnya mereka ‘dibantu’ oleh
pelampung. Akibatnya, anak menjadi kurang cautious.
Dalam hidup, kalau perasaan anak terus-terusan dibuat
nyaman—apalagi saat ia masih kecil—ia akan kaget saat masuk ke dunia
nyata. Misalnya, saat si kecil mulai bersekolah, atau saat si kecil
harus duduk manis di restoran. Bisa-bisa, si anak syok saat tersadar
bahwa Mama dan Papa nggak selamanya bisa melindungi dirinya. Bahwa ia
mungkin akan berhadapan dengan para bullies. Bahwa ia mungkin
akan naik ayunan sendiri tanpa dipegangi Papa, dan akan jatuh. Bahwa ia
harus makan duduk, tidak bisa sambil digendong keliling restoran seperti
di rumah.
Padahal itu adalah fakta-fakta hidup yang harus diterima oleh anak.
Kembali ke imunisasi. Sang DSA tidak suka Paula meminta maaf
atas suntikan yang akan dialami anaknya. Imunisasi adalah bagian dari
hidup anak yang harus ia terima. Bukan suatu kesalahan orangtua.
Disuntik sakit? Terimalah!
Kurang lebih, begitu lah :) Yang saya simpulkan, meminta
maaf itu baik dan perlu. Namun, sebagai orangtua yang WAJIB punya
otoritas kepada anak, rasanya kita perlu memilah, kapan perlu meminta
maaf, kapan tidak. Toh, mayoritas tindakan kita untuk kebaikan anak,
bukan suatu kejahatan yang wajib disesali.
Anak saya belum setahun, belum terlalu paham konsep
‘hukuman’ dan ‘permintaan maaf’. Tapi saya membayangkan kalau ia sudah
agak besar. Misalkan ia ‘nakal’, lalu saya marahi dan hukum, tapi
kemudian saya ujug-ujug minta maaf. Tidakkah si bocah akan bingung?
“Jadi gue salah apa bener, sih?” pikirnya. Masih mending kalau bingung.
Kalau anak saya menjadi jumawa, gimana? Repot saya!
Kesimpulan yang bisa saya tarik: rasa sakit—secara fisik ataupun mental—adalah sesuatu yang PASTI dialami oleh si kecil, and we don’t have to be sorry about that.
Original posted by MommiesDaily
Tidak ada komentar:
Posting Komentar