Anty menatap tuts grand piano dihadapannya dengan perasaan campur aduk. 30 detik kemudian jari-jari lentiknya mulai menari mengalunkan sebuah lagu dari band era 90'an dengan judul "sebuah kisah klasik".
Plok...plok...plok
Tepuk tangan yang cukup nyaring itu mengalihkan perhatian Anty dr grand piano itu. Dia menoleh dan mendapati Ilma berdiri di pintu gerbang ruang kesenian yang terpantang lebar.
"wah..bagus banget, Bu!" seru gadis itu seraya mendekati Anty.
Anty tersenyum simpul. Senang melihat jilbab kaos Ilma yang melambai ketika berlari. Sudah 2 bulan gadis itu mengganti pakaiannya. Setelah percakapan dengan Anty 2 bulan lalu, gadis itupun rajin bertanya tentang hukum-hukum islam yang berhubungan dengan kaum wanita. Sedapat mungkin Anty berusaha menjawab keingintahuan Ilma.
"Udah lama, Il?" tanya Anty begitu Ilma tiba di sisinya.
"Baru aja. Tepat saat ibu melantunkan lagu yang tadi," jawab gadis itu.
¤¤¤@¤¤¤
"Aduh Budeee..." Anty menjerit melihat nasi yang disendokkan Bude Atchi untuknya.
"kenapa?" tanya Bude Atchi heran.
"Banyak amat," jawab Anty merajuk.
"Masa segini aja banyak?"
"Iya, banyak. Kurangin dong, Bude."
"Kak Anty lagi diet ya?" tanya Nouvan yang ikut makan bersama Anty.
"Engga' donk, rugi amat diet segala."
"Trus kok makannya ngga sebanyak biasa?"
Anty nyengir, "Sebenarnya tadi kakak udah makan di asrama."
"Lho? Kan kemaren Bude uda bilang kalo siang ini Anty harus makan di sini," tanggap Bude Atchi kecewa. Beliau sengaja memasak menu istimewa untuk Anty karena keponakannya itu sudah menyelesaikan tugasnya di Solo.
"Jangan kecewa dulu donk, Bude! Tadi makannya sedikit kok. Hari ini khan hari terakhir Anty di Solo, jadi pengen melakukan semua hal yang biasa Anty lakukan, termasuk makan siang di Asrama. Ngga apa-apa khan, Bude?" bujuk Anty sambil mengusap lengan Bude Atchi manja.
Bude Atchi tersenyum maklum, "Ya sudah kalau begitu. Ayo..makan."
Pulang dari rumah Budenya Anty tidak langsung kembali ke asrama. Gadis itu singgah ke taman. Dinikmatinya kesejukan dan aroma tumbuhan yang menjadi ciri khas tempat itu. Tiba-tiba dilihatnya sesosok bayangan masuk ke areal taman dengan langkah tergesa bahkan hampir jatuh tersandung.
(Reisha? Tampangnya kog hancur benerr?)
Anty mengerutkan keningnya melihat wajah muridnya yang bersimbah air mata. Lalu diikutinya langkah gadis itu.
(Ke kolam. Eh...apa dia mau bunuh diri?)
Anty benar-benar terkejut melihat Reisha berdiri tepat di bibir kolam. Setengah berlari Anty mendekati gadis itu.
"Reisha!" serunya sekeras mungkin. Reisha yang tadinya seperti orang linglung tersentak mendengar suara Anty.
"Bu Anty," ucap gadis itu dengan bibir bergetar.
Anty segera meraih bahu gadis itu, "Kamu kenapa?" tanyanya prihatin.
"Saya..hikz..hikz..," Reisha tidak dapat meneruskan kata-katanya, terhalang oleh tangisnya yang cukup memilukan.
Anty membiarkannya menumpahkan tangisnya hingga puas. Setelah Reisha tenang, dibawanya gadis itu ke pondok bambu.
"Ayo duduk," Anty menunjuk satu kursi di pondok itu. Tanpa membantah Reisha mengikuti perintah Anty.
"Sekarang katakan ada apa?" . Reisha tidak menjawab. Gadis itu menunduk sambil menghapus sisa air mata yang masih melekat dipipinya.
"Hei.." Anty menyentuh lengan Reisha. "Setahu ibu, jika kita membagi kesedihan kita dengan seseorang, kita bisa sedikit lebih lega."
Reisha mengangkat wajahnya, "Bu Anty...saya..saya sedih sekali. Soalnya Andra..Andra.."
(Andra? Astaga..jadi ini ada hubungannya dengan Andra toh? Kupikir apa..)
Anty mengeluh dalam hati. Tidak menyangka wajah yang teramat sedih itu hanya karena seorang pacar.
"Andra kenapa?"
"Dia punya pacar lagi," jawab Reisha serak. Anty melihat matanya kembali berair. "Saya..Saya memergoki mereka sedang berduaan, mesra sekali."
"Lalu karena dia punya pacar lagi kamu menangis begitu sedihnya sampai hampir masuk kolam?" tanya Anty selunak mungkin, padahal di dalam hatinya sungguh gemas.
"Habisnya...habisnya..saya sangat mencintainya, Bu."
Anty menghela nafas panjang. Diraihnya tangan Reisha lalu digenggamnya erat-erat.
"Bersyukurlah karena kamu beruntung, Rei." ujar Anty kemudian.
Reisha menatap Anty tak mengerti, "Maksud Ibu?"
"Kamu bilang kamu sangat mencintai Andra. Apa..ehm..apa kamu berpikir kelak kamu akan menjadi istrinya?" tanya Anty sedikit risih.
Wajah Reisha memerah. Dengan malu-malu dia menganggukkan kepalanya. Anty tersenyum dalam hati.
"Makanya Ibu Bilang KAMU BERUNTUNG. Yaa..kamu memang beruntung karena Andra punya pacar lagi sekarang, saat kamu belum menjadi istrinya. Coba bayangkan jika dia punya pacar lagi saat kamu sudah menjadi istrinya."
Reisha tertegun. Jelas sekali apa yang dikatakan Anty tak pernah terlintas dibenaknya.
(Ya Rabbi...betapa naifnya gadis ini. Selain sekolah dan cinta, apa tidak ada hal lain yang dipikirkannya?)
Anty merasakan kesedihan merasuki dadanya. Di nusantara ini pasti banyak gadis muda yang berpikiran pendek seperti Reisha. Kasus bunuh diri atau OD yang kerap menghiasi media menjadi bukti betapa cengengnya pemuda Indonesia.
"Ayolah Rei, hapus air matamu. Banyak hal yang lebih patut ditangisi daripada cinta yang dihianati. Tidakkah terpikir olehmu bahwa kamu sudah membuang air matamu? Di sini kamu menangis karena dia, padahal saat ini dia tengah bahagia bersama orang lain. Jadi sia-sia saja kan kamu menangis?"
Wajah Reisha masih menyimpan kesedihan, namun Anty tak melihat lagi genangan air di mata gadis itu.
"Balik ke asrama yuk," ajak Anty. "Kayaknya waktu ashar udah masuk. Kalo kamu masih semangat buat nangis, mendingan nangis saat menghadap-Nya. Ibu jamin air matamu ga sia-sia.
Anty menarik lengan Reisha agar bangkit. Gadis itu menurut. Ketika Anty baru memasuki Asrama, Tantri tiba-tiba saja muncul di hadapannya.
"Bu Anty, saya mau tanya sedikit," ujarnya
"Tanya apa?"
"Waktu sekolah dulu Bu Anty pernah melakukan hal yang sedikit menyimpang. Seperti..mmmm..melanggar peraturan sekolah misalnya."
"Kok kamu nanya itu?" Anty balik bertanya.
"Pengen tahu ja, Bu"
Anty merasa sepertinya dari pertanyaan Tantri ada sesuatu yang ga biasa.
(Biar deh aku ga tahu sekarang. Suatu saat pasti aku akan tahu)
"Jadi gimana, Bu?" tanya Tantri mendesak.
Anty mengangguk, "Yah..satu dua kali Ibu pernah ikutan teman-teman Ibu bolos di jam pelajaran yang tidak Ibu sukai," jawabnya. "Tapi itu bukan untuk ditiru ya."
"Beres Bu" jawab Tantri.
Anty kemudian berlalu ke kamarnya. Tanpa setahu Anty, di belakang punggungnya Tantri mengacungkan 2 ibu jarinya pada teman-temannya yang mengintip dari balik tangga.
"Gimana?" tanya Siwi memastikan.
"Oke," jawab Tantri. "Waktu SMU Bu Anty pernah bolos"
"Kalo gitu dia pasti bisa ngerti," timpal Astri. "Yang namanya remaja sesekali ngelanggar boleh kan?"
¤¤¤@¤¤¤
Ketukan pelan namun berirama di pintu kamarnya membangunkan Anty. Setelah membuka matanya, ia pun bangkit.
Anty menyalakan lampu. Diliriknya jam. Pukul satu.
(siapa c malam-malam begini?)
Dengan hati bertanya gadis itu menuju pintu, "Siapa?" tanyanya.
"Saya, Bu, Siwi,"
Anty membuka pintu dan langsung menangkap kekhawatiran di wajah Siwi, "Ada apa?".
"Teman-teman Bu," jawab Siwi gugup
"Teman-temanmu kenapa?" Anty semakin khawatir.
"Pokoknya Ibu lihat saja deh," jawabnya sambil menarik lengan Anty.
Anty mengikuti Síwi ke lantai atas tanpa bicara. Pikirannya dipenuhi dugaan yang tidak menyenangkan. Namun begitu kakinya menginjak ruang tengah, gadis itu tertegun. Di tengah kegelapan dia melihat puluhan cahaya lilin di sekeliling ruangan.
"Surprise," seruan yang tidak terlalu keras bergema diantara cahaya lilin. Detik selanjutnya cahaya lilin itu padam. Ruang tengah gelap gulita. Namun hanya sesaat, karena kemudian lampu ruang tengah menyala.
Di hadapannya, Anty mendapati murid-muridnya tengah menatapnya dengan seulas senyum. Sebagian dari mereka berkumpul di tengah-tengah ruangan sedangkan sebagiannya lagi merapat ke dinding sambil memegang lilin.
"Kalian?" Anty menatap wajah dihadapannya penuh tanya.
Ilma maju mewakili, "Berhubung ini malam terakhir Ibu di sini, kami ingin ibu melewatinya bersama kami"
Di hadapannya kini terdapat meja kecil penuh makanan ringan dan gelas-gelas berisi teh. Di tengahnya terdapat pula sebuah kue cokelat yang besar.
Anty teringat pembicaraannya dengan Tantri tadi sore.
Beraktifitas di ruang tengah setelah jam tidur tentu saja melanggar peraturan. Dia tentu mewakiki teman-temannya menanyakan itu pdaku agar aku diingatkan kembali bahwa dulu aku juga pernah melanggar peraturan. Dengan kata lain, secara tidak langsung mereka memintaku memaklumi hal ini. Hemm...
Anty mengedarkan pandangannya. Tidak didapatinya wajah keruh dan mengantuk. Semua penuh senyum. Bahkan Reisha yang tadi sore murung sekarang tersenyum cerah.
"Bu Anty, ayo potong kuenya" seru sebuah suara.
"Iya Bu" seru suara lainnya.
Lidah Anty seketika kelu, sedangkan matanya terasa panas. Semua ini sungguh kejutan yang amat manis. Puncak dari 12 bulan penuh warna yang dilakoninya yang bagaikan opera, di mana senyum, kesedihan, cinta, air mata dan kegembiraan silih berganti.
Mulai besok aku mungkin tidak akan terlibat lagi dalam masalah-masalah yang mereka hadapi, tapi toh aku masi bisa bersama mereka lewat tulisan-tulisanku yang Insya Allah akan terus mendampingi mereka melalui pesan-pesanku. Walaupun aku hanya seorang Anty Raemawasti, aku berharap hal kecil yang aku lakukan itu bermanfaat bagi mereka, generasi negeri ini.
"Ayoo, Bu.. Jangan diem aja, kasihan kuenya"
"Iya Bu..kasihan kita ju seruan yang bergema itu mengingatkan pada pesta kecil yang diadakan untuknya. Dan semuanya tersenyum manis. Sebuah hadiah yang akan selalu di kenangnya.
¤ FIN ¤