Home

Juli tahun kesekian

Keheningan subuh pagi ini dipecah oleh tangisan bayi yang baru saja keluar dari kehangatan ibunda untuk memulai trilogi babak kehidupan manusia : lahir, nikah dan mati.
Sewindu berlalu bayi mungil itu telah tumbuh menjadi gadis mungil nan menawan hati menjadi cahaya dan keceriaan keluarga nan bahagia
hingga disuatu pagi yang kelabu...
"Raema," sapa lembut remaja nan gagah rupawan.
"Eh kak Fandi,"
"Sini, kakak punya permen untukmu,"
Berjalan ceria gadis itu mengekor remaja tersebut memasuki asrama pelajar, dan babak tragedi mawar berdarah terpapar. Kepolosan dan kemanisannya telah terobek oleh setan berkulit manusia, kelopak mawar itu gugur terkoyak desau badai nafsu remaja. Layar tertutup pilu dengan senyum tersungging disudut bibir sang remaja.
"Ema, ini permennya buat adik kak Fandi yang cantik. Tapi jangan cerita ya sama siapa-siapa nanti Raema bisa mati," anggukan lunglai menyudahi episode pagi ini.

X tahun kemudian

Bayang gelap membayangi langkahku kini walau prestasi demi prestasi yang kuukir telah membentuk istana kebanggaan ayah bunda tetap tak akan mampu mengembalikan mawar indah itu untukku. Dan babak episode selanjutnya dimulai dengan keberangkatanku menuju kota metropolitan untuk melanjutkan kuliahku.
"Ayah adik berangkat, kumohon doamu selalu."
"Doaku selalu menyertaimu anakku, dan kasih sayang itu tak berkurang walau jarak merentang."

Ah, kota Metropolitan kini aku datang bersua denganmu? Tak ada waktu untuk merenungkan semua itu. Kehidupan kampus yang penuh kamuflase perlahan mengikis keimananku yang memang sudah tipis, salahkah kedua orang tuaku yang menekanku berprestasi hingga mengabaikan sisi rohaniku?
Entahlah, sejak mawar merahku terampas, tak sekaki kaki mantap berpijak dibumi hanya kegamangan menyelimutiku. Ah, akhirnya Metropolis mlindasku. Hari-hari kulalui dengan hura-hura membuang lara hati mengejar fantasi hidup. Berbilang tahun aku menutupi semua dusta ini, semakin jauh aku dari ayah bundaku, kabar tak pernah tersiar, hidup melantur jauh dari cita dan harapan dulu.

Siang yang terik dan menguras tenaga setelah lelah berjalan tanpa arah, kakiku menyeretku ke rumah kos.
"Ayah," terbata kusebut kata itu dengan jutaan ton beban memberati bibirku. Dunia seakan berhenti berputar saat kutatap dengan wajah pucat Ayah telah duduk di beranda kamar kosku. Dengan segala kebingungan bagaimana beliau dapat menemukanku setelah berbilang waktu aku tak menyapanya.
"Belum puaskah kamu menjadi manusia berjubah kelelawar?!" sentaknya dingin.
"Sudah beribu butir kehinaan dan dusta terpasak dalam langkah kaki dan alunan kalimat dari mulutmu. Apakah begitu banyak kesalahan ayah dan keluargamu hingga menjadi ladang pembantaian balas dendammu?"
Terpekur diam aku dalam seribu bahasa. Bathinku menjerit memberontak; Ayah, apakah masih adakah ruang ketegaran di hatimu andai engkau tahu setiap carutan luka dari remaja nan gagah rupawan yang menemaniku dalam bayang gelap gulita dan derita bathin berkepanjangan! Tak ada keberanian untuk mengembangkan layar berdarah itu untukmu, maafkan aku.
"Ayah tak pernah mengantar dan membawamu menuju jalan kehinaan ini. Apabila kamu sudah tak mau melanjutkan kukiahmu pulanglah,tak usah risau dengan semua jangkauan kartu kredit yang membelitmu semua sudah ayah selesaikan. Dan sekiranya ada kesalhan dari ayah dan keluargamu. Teriring maaf dari kami semua. Masih ada waktu untukmu mengubah semua ini,"
sejenak Ayah diam
"Ayah pulang sekarang, ayah harap kamu pulang menuju jalan lurus rabbmu. Assalamualaikum'"
¤¤
Sore yang kering dipertengahan tahun kesekian
Hari-hari kujalani tanpa arah pasti. Hingga disuatu senja berdebu dan kering meranggas kakiku terpaku pada sebuah pintu gerbang bercat hijau bertuliskan PONDOK PESANTREN AL-FATIMAH
Ramah penghuni pondok itu menyambutku. Sejenak berbasa-basi tak lama terdengar suara adzan maghrib
"Raema, ayo kita sholat dulu nanti Ummi kenalkan dengan teman-teman yang lain," panggilnya menyadarkanku dari lamunannku.
Kalamullah membobol pertahananku hingga aku tak kuasa membendung air mata penyesalan dan risau bathinku atas rentang waktu mudaku yang kusia-siakan dan berkubang dalam kehinaan. Shalat maghrib nan khusyu' membawaku kembali ke pusaran waktu mengingat dosa-dosaku dan mengadukan semua keHaribaan-Nya. Salam akhir telah dilantunkan tak sanggup aku dan terjatuh dalam dekapan Ummi, entah berapa ribu detik telah kulalui dalam dekapan penuh kasih sayang Ummi dan mengungkapkan semuanya.
"Kita harus sabar, semua itu milik Allah dan akan kembali pada-Nya. Kita sebagai manusia hanya bisa bersabar dan meluruskan niat dan menyempurnakan ikhtiar kita didunia ini. Allah masih sayang sama Ema dengan memberi kemudahan menuju jalan-Nya, jadikan musibah ini sebagai teguran dari Allah," nasihat Ummi menyiram bathinku dan membawa ketenangan di hatiku.
Hari-hari kulalui dengan segala kekurangan dan ketipisan imanku. Al-Qur'an yang dul
0

copyright © Qiaramint